Seminar Film Islami Asean 2017 Awal Kebangkitan Film Syar'i
Narasumber Seminar dan Workshop Film Islami ASEAN bertempat di Balai Sidang Utama Kementerian Agama Republik Indonesia (25/03/2017)
Seminar dan Workshop Film Islami ASEAN yang
diselenggarakan oleh Komisi Seni Budaya MUI (25/03/2017) bertempat di Balai
Sidang Utama Kementerian Agama Republik Indonesia terdiri dari dua sessi sidang pleno dan satu
sessi sidang komisi. Bertindak selaku Keynote Speaker :
Prof.Dr.Phil. H. Kamarudin Amin, M.A ( Dirjen Pendidikan Islam Kementrian Agama
Republik Indonesia ). Adapun nara sumber pada acara ini adalah Dr. Zefri Arif (
Seniman, Dosen Universitas Brunei Darussalam ), Habiburrahman El Shirazy (
Penulis Best Seller, Seniman, Sutradara Indonesia ), Syed Nur Faiz Khalid bin
Syed Ibrahim ( Direktur Teknis Les’ Copaque Production Malaysia, Produser
Serial Upin Ipin ), Dr. H. Imam Syafe’i ( Direktur Pendidikan Diniyah dan
Pondok Pesantren Kemenag RI ) Dr. Lukmanul Hakim, M.Sc ( Direktur LP POM-MUI )
Helvy Tiana Rosa ( Penulis, Dosen, Produser Film Indonesia ), Firman Syah (
Sutradara ), Dr. Amirsyah Tambunan ( Dosen, Wakil Sekjen MUI ).
"Film
merupakan kreasi insan-insan yang memiliki daya kreatifitas seni yang sangat
tinggi, yang sangat bisa jadi itu menjadi media dakwah keislaman," kata Prof.Dr.Phil.
H. Kamarudin Amin, M.A Menurutnya pula, film tidak hanya sebagai instrumen
hiburan, tapi bisa menyampaikan pesan-pesan nilai yang positif, seperti film
religi, budaya, apa saja yang bisa informatif memberikan pendidikan kepada
masyarakat. Film akan menjadi pengembangan Keindonesiaan, budaya dan
sebagainya.
Habiburrahman
El Shirazy, Ketua Komisi Bidang Seni dan Budaya MUI mengatakan, kalau umat
islam tidak kreatif, misalnya dalam film kartun, maka akan dipaksa untuk
mengonsumsi kartun Jepang. Tetapi kalau umat islam yang kreatif, maka Jepang
yang akan mengonsumsi produksi umat Islam. Kedepan umat Islam perlu lebih kuat
dalam hal strategi budaya.
Sementara
itu Helvy Tiana Rosa, penulis novel best seller menyatakan keprihatinannya
terhadap produksi film islami yang jumlah penontonnya masih sedikit.
“
Dalam sepuluh tahun terakhir hanya ada tiga judul film Islami yang mendapatkan
jumlah penonton diatas 2 juta orang. Masih
kalah jauh dibanding dengan film-film yang menjual kekerasan, pergaulan bebas
dan produk-produk kapitalis lainnya. Apalagi jika dibanding dengan film-film
Holywood, film islami Indonesia seperti berada di kasta terendah para penonton
Indonesia “
Kesimpulan dari seminar dan workshop ini bahwa membuat film religi atau
film islami atau film dakwah bukan perkara gampang di negeri ini. Tidak hanya
mengenai konten, teknis, modal, dan tata edar saja yang menjadi persoalan.
Tetapi motif dan niat pun bisa dipermasalahkan.
Dari proses produksi film islami kita bisa mengklasifikan, apa itu
sebenarnya film islami. Ada 2 hal utama saat ini yang menjadi sumber dari film
Islami.
- Film
Islami berasal dari novel atau buku Islami.
- Film
Islami yang mengangkat tokoh Islam.
Kira-kira seperti itu penonton umum mengklasifikasi film Islami. Kesimpulan
sederhananya semua yang bersumber dari novel/buku dan tokoh Islam, berarti film
tersebut film Islami.
Tetapi ternyata tidak bisa sesederhana itu jika kita ingin membongkar motif
komodifikasi agama. Ada beberapa pemilahan yang lebih spesifik lagi. Seperti
contoh di bawah ini.
- Film
Islami yang dibuat oleh sineas muslim dengan produser muslim
- Film
Islami yang dibuat oleh sineas muslim dengan produser non muslim
- Film
Islami yang dibuat oleh sineas non muslim dengan produser muslim.
- Film
Islami yang dibuat oleh sineas non muslim dengan produser non muslim.
- Film
Islami dari novel Islami yang dibuat dengan visi tidak Islami.
- Film
Islami yang hanya menampilkan simbol-simbol agama saja.
- Film
Islami yang hanya menggunakan latar belakang agama.
- Film
Islami yang isinya malah mengolok-olok agama.
Pasar muslim sudah terbentuk di negara yang mayoritas
penduduknya muslim. Agak aneh kedengarannya. Tetapi realitasnya memang
seperti itu. Jumlah yang besar belum tentu jaminan sebagai target pasar yang
juga besar. Tersebab itulah jumlah film Islami sejak pertama kali film nasional
diproduksi oleh orang Indonesia asli, tidaklah banyak. Bahkan menjadi
minoritas.
Sebuah film dapat dikatakan Islami jika di dalam karya film tersebut
mempunyai visi yang Islami. Yaitu :
- Pandangan
hidup yang Islami,
- Solusi
yang Islami,
- Cara
yang Islami.
Pandangan hidup yang Islami adalah paradigma tentang
bagaimana alur kisah dalam film bertujuan untuk mengajak orang melihat dalam
sudut pandang Islam. Jika ada permasalahan atau konflik yang terjadi, maka
solusi-solusi yang digunakan adalah solusi Islami dengan cara-cara yang Islami.
Islam memiliki spektrum yang sangat luas dalam kehidupan. Bukan hanya
persoalan ibadah saja tetapi juga menyangkut urusan hal yang remeh seperti
buang air dan menguap. Ketiga hal di atas harus berpadu padan dan tidak bisa
diabaikan satu pun. Contohnya, ada film yang mengangkat kisah tentang taubatnya
seorang pelacur. Mungkin kelihatan ini adalah solusi Islami. Tetapi sepanjang
film digambarkan detil sepak terjang sang pelacur sebelum bertaubat. Solusinya
memang Islami tetapi caranya yang tidak Islami.
Film katanya Islami, tetapi cara tokoh-tokoh dalam film sama sekali tidak
mencerminkan pola hidup Islami. Adegan kissing, peluk-pelukan bukan
muhrim, minum menggunakan tangan kiri, dan sebagainya. Adegan-adegan tidak
Islami ini terjadi karena keminimtahuannya tentang agama. Atau bisa pula karena
ketidakpeduliannya pada gaya hidup Islami. Sineas muslim sejati hanya
memikirkan tentang mendakwahkan Islam sebagai jalan hidup. Bukan menjual agama
karena penontonnya lagi ramai.
Sineas muslim yang memiliki visi dan konsisten pada karya Islami, memiliki
peluang sekaligus tantangan yang banyak. Antara lain:
- Peningkatan
keterampilan di segala bidang perfilman.
- Memiliki
visi visual terkini.
- Mengoptimalkan
ragam genre film.
- Permodalan
- Pemain/artis
dengan visi Islami.
- Perkembangan
teknologi yang begitu pesat.
- Konten
dakwah yang menghibur tanpa menggurui.
- Jejaring
apresiator.
Kedelapan tantangan ini bukan tanpa alasan dipaparkan. Diperlukan
pembahasan dan diskusi yang lebih intensif dan konprehensif untuk menemukan
solusi terbaik. Optimisme dan spirit perjuangan harus tetap dikobarkan. Sesulit
apapun situasinya. Serumit apapun tantangannya
Dari
ajang seperti ini, peserta seminar dan workshop berharap film-film yang merusak
moralitas masyarakat, seperti pornografi dan lainnya hilang, tergantikan sajian
film bermutu, bernuansa Islami, serta mendidik generasi bangsa dalam
mengembangkan imajinasi serta kreatifitas demi kemajuan film nasional yang
bermartabat. Disusun dari berbagai narasumber ( Penyusun : A R Affandi )
Tidak ada komentar